Senin, 13 Oktober 2014

Kunjungan Profesi



Selasa  pekan lalu saya diminta oleh sebuah SDIT (Sekolah Dasar Islam terpadu) di daerah Cibitung untuk melakukan KunProf (Kunjungan Profesi). Saya diminta untuk presentasi di depan siswa kelas 4,5 dan 6 yang totalnya berjumlah 300 siswa tentang profesi psikolog. Hmmm… saya berfikir, bagaimana ya caranya menjelaskan profesi psikolog ke anak SD, bagaimana mengkongkritkan agar mereka dapat memahami dengan baik. Berfikir… berfikir.. berfikir..
Akhirnya saya buat slide, diawali dengan foto-foto psikolog yang ada di Indonesia, Saya memilih menampilkan Kak Seto dan Bunda Elly Risman, karena meraka psikolog yang relatif sering bergerak di dunia anak dan parenting. Saya juga menampilkan Almarhum Pak Fuad Hassan (Dosen saya ketika menempuh pendidikan S1) sebagai lulusan pertama Fakultas Psikologi di Indonesia ini. Selanjutnya slide tentang apa itu psikologi, apa psikolog, apa saja jurusannya,  apa yang dilakukan psikolog, sambil di selipkan contoh tentang problematika remaja, di mana saja lapangan kerja psikolog, diakhir, bagaimana caranya agar dapat menjadi psikolog. Slide yang saya buat, saya usahakan tidak banyak kata-kata, lebih banyak menampilkan gambar dan beberapa video.
Pas Hari H, pagi hari saya datang ke sekolah tersebut, disambut dengan dengan dewan guru, setelah istirahat sebentar, masuklah ke ruangan tempat acara, begitu mengucapkan salam, di sambut dengan nyanyian selamat datang oleh anak-anak, hee… lumayan membuat tersenyum dan rileks. Biasanya saya mengajar di kelas mahasiswa, para manusia dewasa yang sebagian besarnya sudah bisa mengendalikan diri, duduk dibangku masing-masing. Nah ini menghadapi anak-anak SD berjumlah tiga ratusan, tadinya sempat terfikir, bagaimana ya jika situasinya crowded, namun Alhamdulillah ternyata aman dan terkendali J
Setelah dimulai dengan perkenalan dan beberapa games membangun konsentrasi, mulailah saya memaparkan. Ketika saya menampilkan gambar Kak Seto dan Bunda Elly Risman, ternyata sebagian anak-anak mengenalinya. Ketika gambar almarhum Pak Fuad Hassan, mereka tidak mengenalinya, hehehe iya lah beda zaman… malah guru-guru mereka yang mengenalinya. Alhamdulillah presentasi relatif lancar, break istirahat, kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab. Mereka sangat antusias mengajukan pertanyaan, entahlah karena memang tertarik atau termotivasi dengan iming-iming dari guru, bahwa yang bertanya akan mendapatkan hadiah. Saya membatasi 10 penanya.  Hehehe.. ada-ada saja pertanyaan anak-anak. Ada yang bertanya “Mengapa ibu tertarik menjadi seorang psikolog?”, “kasus apa saja yang pernah ibu tangani?”, “Bagaimana menangani permasalahan remaja?“, “Megapa anak sekolah tidak boleh merokok?”. Sampai ada yang bertanya berapa jumlah psikolog yang ada di Indonesia… J . Saya mencoba menjawab semua pertanyaan yang di ajukan  anak-anak. Setelah tanya jawab selesai, sesi acara berikutnya adalah anak-anak diminta untuk membuat tulisan “Jika Aku Menjadi Psikolog, Aku akan….. “ . Akan tetapi sesi ini bukan saya lagi yang memfasilitasi, melainkan guru-guru.

HHmmm…  saya pamit, terselip do’a, semoga bermanfaat, semoga apapun profesi yang mereka pilih kelak, akan menjadikan mereka bermanfaat, untuk dirinya, keluarga, agama, bangsa dan Negara. Dan sayapun terinspiasi dari keceriaan anak-anak, menatap wajah mereka, meyakinkan saya, bahwa harapan akan selalu ada.

Sabtu, 04 Oktober 2014

Bali, “Ngebolang” in Wedding Aniversary


September akhir, ceritanya Geng Rahmanika (Rahman dan Ika alias Mamas dan saya) wedding aniversary dan berencana akan mengisinya dengan liburan. Dari jauh-jauh hari anggota Geng Rahmanika sudah “ribut” menentukan destinasi liburan. Terfikir ke Garut, Bandung, Yogya, sampai ke Nusakambangan (katanya sih pantainya indah). Mendekati hari H, tetiba anggota geng yang berkromosom XY berceletuk, “kenapa gak ke Bali saja.. Dede kan beloman pernah ke Bali, Mamas kan sudah sering”… Orang yang disebut Dede melongo saja, maklum sejak di panggil ketua program studi magister psikologi profesi (panjang amat ya, singkatnya Ka.PSMPP) untuk segera menyelesaikan studinya, Si Dede ini fikirannya agak-agak kurang connect, karena selalu di bayang-bayangi alunan gaudeamus igitur… (hee… syerem :P) Well akhirnya, saya sih oke-oke saja lah . Mulailah dilakukan persiapan yang terstruktur, sistematis tetapi tidak masif, disingkat TStM. Awalnya Geng Rahmanika mencari info di google, tentang paket wisata ke Bali. Mamas menemukan beberapa paket wisata yang cukup menarik diselenggarakan biro wisata, bukan biro jodoh (ya iyalah.. :P ). Akan tetapi ketika saya melakukan re-check …. sontak tidak setuju, karena harganya lumayan bikin kantong bolong, apalagi harus dikali 2 karena anggota Geng Rahmanika kan 2 orang, belum lagi pengeluaran lainnya yang tidak included . Walaupun ketika di tanyakan ke rekan yang sudah mengetahui seluk beluk Bali, beliau menyatakan, memang harganya rata-rata ‘segitu’. Hmmm… untuk hemat, saya cari ide, dan mengusulkan bagaimana kalo “ngebolang” saja, sampai Bali sewa motor dan jalan-jalan ke objek wisatanya menggunakan motor. Urusan arah jalan bisa pakai aplikasi google maps atau waze, yang rajin banget kasih instruksi ‘turn left turn right’. Awalnya Mamas tidak setuju, khawatir tersesat, dll, dll. Mulai lah saya membujuk pakai jurus mata kucing … meong… meong.. tatap mata saya. Eng Ing Eng… deal setuju… horeee . Pesawat? Hotel? Cari promo via internet. Dapat lah harga pesawat dan hotel yang miring banget. Alhamdulillah…. 

 Hari 1 Sabtu, 20 September 2014 Hari H


Berangkatlah Geng Rahmanika menggunakan Damri dari Kayuringin, Bekasi ke Cengkareng. Tarifnya IDR 50.000,- perorang karena Damri Royal, kalau Damri yang biasa tarifnya IDR 35.000,-. Selepas masuk tol Bekasi Barat saya tidur, pas bangun sudah sampai Bandara Soetta (hehehehe… kebluk begini ya). Jalanan relatif lancar, 1 jam sampai. Boarding di Gate 3. Tengok kanan-kiri, lebih banyak penumpang WNA dari pada WNI. Dan Astaghfirulloh… hhmm… banyak yang pakaiannya sangat terbuka. Saya mengingatkan Mamas, jaga ya pandangannya, nanti hafalannya hilang 5 juz… jadi minus deh :P. Alhamdulillah penerbangan berjalan lancar. Berangkat dari Cengkareng pukul 13.30 sampai Denpasar pukul 16.30 padahal perjalanan di udara sekitar 2 jam, karena ada perbedaan waktu 1 jam antara WIB dan WITA. Sesampainya di Bandara Ngurah Rai, Geng Rahmanika mencari taksi untuk ke hotel. Ternyata ada stand taksi, sudah ada daftar harganya berdasarkan lokasi tujuan. Untuk tujuan kami ke Tune Hotel di daerah Legian, menurut daftar harga adalah IDR 70.000,- akan tetapi ketika memesan di bilang harganya IDR 90.000,-. Ketika Geng Rahmanika tanya, “kok beda ya dengan daftar harga?” dijawab oleh petugas “ya memang begitu”. Perjalanan menggunakan taksi tidak begitu lama, sekitar 30 menit sudah sampai, relatif lancar, walau ternyata banyak jalan raya yang relatif sempit. Memasuki daerah Legian, seperti bukan di Indonesia, karena banyak sekali bule yang berlalu lalang menggunakan sandal jepit atau bahkan nyeker. Menurut supir taksi yang mengantar kami, hotel yang akan kami inapi dekat sekali dengan pantai Legian, dan disini memang salah satu ‘sarang’ nya bule. Sampai hotel check in. Geng Rahmanika membersihkan diri dan sholat. Hhhmm… tak terdengar suara adzan. Kalau biasanya di Jakarta atau di Cibitung, Adzan terdengar bersahut-sahutan… di sini kami tak mendengar Adzan. Caranya tahu datangnya waktu sholat adalah dengan melihat jam, dan Mamas menyeting alarm sholat waktu Bali di tabletnya. Jadi, jika waktu sholat datang, alarm akan berbunyi. Setelah sholat, malam harinya kami mencoba berjalan-jalan di sekitar hotel, mencari snack dan peta wisata serta melihat situasi. Untuk makan, kami sudah membawa rendang dari Cibitung. Ternyata pemandangan di sini jauh lebih vulgar di banding yang kami lihat tadi. Pakaian yang sangat terbuka, bir yang di tenteng-tenteng seolah-olah membawa botol air mineral… Kami jalan hanya sebentar, balik ke hotel. Snack di dapat di mini market, akan tetapi peta wisata belum dapat, akhirnya kami membuat rencana perjalaan untuk keesokan harinya menggunakan peta dari internet.

Hari 2 Ahad, 21 September 2014


Perjalanan hari ini di awali dengan ke Pantai Legian dan Pantai Kuta… MasyaAllah, pantai nya indah… panjang, pasirnya lembut, anginya sepoi-sepoi menerpa wajah ditambah lagi dengan lukisan langit, awan putih, langit biru. Pas deh. Hhmmm.. tapi banyak yang berjemur, kami lebih banyak mengadahkan pandangan ke bibir pantai dan laut lepas, dari pada ke pantai pasirnya dimana banyak yang berjemur, sempat terfikir jika kami liburan dengan anak kecil, bagaimana ya memberikan penjelasan kepada mereka, tentang ‘pemandangan’ ini. Di Pantai ini ombaknya cukup besar… banyak yang berselancar. Ada beberapa yang terlihat pro, ada yang masih belajar dengan instrukturnya. Di Pantai Kuta kami memesan 1 buah kelapa muda, pas kami membayar, ternayata 1 buah kelapa muda di hargai IDR 50.000,- , Alhamdulillah kelapanya enak, daging kelapanya tebal, tapi lembut. Karena mulai kelaparan, kami mencari tempat makan, harus ekstra hati–hati mencari makan di tempat wisata seperti ini, pertimbangan kehalalan, karena banyak yang tidak segan-segan mencantumkan pork sebagai menu mereka, selain itu juga pertimbangan harga. Akhirnya pilihan kami jatuh ke sebuah warung Jogja. Karena menunya yang kami lihat aman, dan ada sebuah keluarga muslim yang sedang sarapan. akan tetapi ternyata, selepas kami sarapan, ada 1 pasang bule yng datang dan memesan bir. Hmmm… ternyata warung ini menyediakan bir juga, tadi tidak terlihat , istighfar. Kedepannya kami jauh lebih berhati-hati memilih tempat makan, dan ternyata jika di daerah perkotaan sudah banyak di temukan warung Muslim. Kenapa di sebut warung Muslim? karena mereka memang mencantumkan nama itu di papan warungnya. Misalnya “RM Banyuwangi Muslim”, biasanya ditambah dengan lafadh Basmalah. Selepas dari daerah pantai, Geng Rahmanika memutuskan untuk berwisata di daerah perbukitan Uluwatu, memacu sepeda motor, menyalakan aplikasi waze. Dari posisi kami ke destinasi akan memakan waktu sekitar 50 menit berkendara sepeda motor mulailah kicauan turn left dan turn right berkumandang. Di tengah perjalanan, isi petrol dahulu, IDR 28.000,- full tank. Sesampainya di Uluwatu Temple kami harus membayar tiket IDR 20.000 per orang untuk WNI. Kami perhatikan mayoritas objek wisata di Bali selalu ada dua harga yang di bedakan untuk WNI dan untuk WNA, untuk WNA dikenakan biaya tiket yang lebih mahal. Kami diberikan selembar kain yang harus dililitkan di pinggang. Mulai memasuki wilayah pura, banyak monyet-monyet yang berkeliaran bermain dengan sesama mereka, ada yang berenang di kolam, ada yang berlari-larian, ada yang nangkring di pohon, lucu sekali tingkah polah mereka. Selain kucing, saya memang penyuka binatang monyet, matanya ituloh lucu, begitu menggemaskan, ingin memeluk dan mengusap-usap… . Ternyata Uluwatu Temple ini berada di salah satu ujung pulau Bali. Dari atas pura, pemandangan ke bawah lautnya indah sekali… diselingi dengan deburan ombak. Setelah lelah berjalan-jalan, Mamas mengajak pulang, tapi saya mau duduk-duduk dahulu. Akhirnya, Geng Rahmanika duduk di seberang pepohonan, banyak juga pengunjung yang duduk-duduk di sana. Karena lapar, Saya melahap sebuah wafer… tapi kok sepertinya ada yang memperhatikan ya… siapa ya? pas dilihat lihat ternyata yang memperhatikan adalah seekor monkey diatas pohon sana. Si monkey terus memperhatikan, Saya fikir mungkin monkey pengen wafer juga kali yaa?... Eh tuh monkey turun dari pohon dengan langkah yang pasti dan tatapan yang tajam dia mendekati saya. Tetiba….. brett si monkey menyambar kacamata yang saya gunakan… meninggalkan bekas memar di bawah mata, sakiiit.. tuh monkey lari, kemudian berhenti sebentar terus menggunakan kacamata saya, begitu kata Mamas, saya sih tidak bisa melihat jelas (pandangan blur karena minus mata yang lumayan parah), hanya meringis kesakitan. Alhamdulillah kacamata bisa balik lagi, setelah di rebut oleh Bli petugas. Horeeeee bisa melihat dengan jelas lagi, tapi memar di bawah mata masih sakit, bahkan sampai 2 hari kemudian, luar biasa memang tenaga monkey tsb, padahal itu yang badannya kecil. Dalam hati berdo’a, semoga memarnya baik-baik saja, tidak terkena infeksi. Ahirnya Geng Rahmanika memutuskan keluar dari area Uluwatu Temple, tetapi kacamata masih di taruh di tas, khawatir di rebut kembali oleh monkey. Sambil menuntun, Mamas bertanya bernada meledek ”bagaimana De, masih suka sama monyet? “ hhhhmmmm… walau sudah di “krauk” tetep suka kok sama monyet, karena saya tuh, sekali suka kan tetap suka (beuhh.. apaseh :P) . Tujuan Geng Rahmanika selanjutnya adalah GWK (Garuda Wisnu Kencana), sebuah komplek kebudayaan. Pasang waze, berangkat…. Eh, tetapi di tengah perjalanan, saya melihat plang arah Pantai Pandawa, dengan impulsif saya meminta Mamas belok kanan, ke arah Pantai Pandawa… sepertinya sih tidak jauh. Waaa… sesampainya di Pantai Pandawa ternyata di sisi-sisi Pantai bayak tebing kapur yang tinggi… dan disini ada gantole, terjun dari sisi atas tebing… dan mendarat di pantai. Saya ingin merasakan, akan tetapi tidak diperbolehkan, “jangan ah, nanti nyangkut di pohon” jawab Mamas sekenanya, trus langsung mengajak pulang. Kami belum sholat, tadi di Uluwatu tidak menemukan Masjid ataupun Musholla, padahal sepanjang jalanpun sudah mencari tengok kiri-kanan. Mamas bilang, ”De kalau tidak ketemu musholla juga, bagaimana kalo kita sholat saja di pinggir jalan. Hhmm… ide yang boleh juga, karena kalau sholat di tengah jalan, nanti khawatir di tabrak orang. Tapi Alhamdulillah akhirnya kami menemukan sebuah pom bensin yang ada musholla nya… horeee, bagaikan menemukan oase di padang pasir… bahagia rasanya, walau musholanya sangat kecil (hanya muat buat 2 orang) tapi bersih. Jika di Jakarta hampir semua pom bensin ada mushollanya, kalo di sini jangan berharap banyak deh. Selesai sholat, kami melanjutkan perjalanan, hhmm… sepertinya kami tersasar deh, bukan mendekati GWK, malah menjauhinya, perut juga sudah mulai memanggil-manggil tuk diisi. Begitu menemukan warung muslim, kami berhenti, sang penjual Ibu berjilbab dengan suaminya. Saya tersenyum manis pada Si Ibu, bukan karena mau minta makan gratis, tapi karena terharu rasanya bertemu dengan Ibu berjilbab, karena sedari tadi saya bertemu dengan bue-bule terus. Kami merasa separti saudara yang sudah saling mengenal (hhmm.. kami ? gr ajahh dah). Ternyata harganya jauh lebih murah dari pada harga sarapan kami di Legian. Selepas makan kami menyakan arah GWK. Dijelaskanlah oleh Ibu dan suaminya, setelah membayar kami berpamitan mengucapkan salam dan dibekali dengan sekantung snack… heee engga ding cuma dikasih senyum aja. Tapi itu Ahamdulillah banget koq, sesuatu. Sampailah di GWK yang katanya komplek kebudayaan, setelah parkir dan berfoto-foto di depan sebuah bis jadul, kami membeli tiket. Waaww, ternyata tiketnya relatif mahal IDR 50.000,- untuk WNI. Masuk komplek GWK yang terletak di dataran tinggi, ada beberapa plaza yang berisi patung-patung berukuran raksasa. Baru melihat 1 patung Garuda, belum keliling komplek, Geng Rahmanika berkonflik. Pasalnya saya yang bergaya impulsif dan santai, masih ingin melihat-lihat lebih lama. Mamas, yang bergaya sistmatis dan terstruktur, mengingatkan bahwa kita sudah melenceng dari jadwal, jadi harus bersegera keluar komplek dan melanjutkan ke tujuan berikutnya. Saya agak “mutung”, karena merasa ini kan liburan, bukan kunjungan kerja, masa harus terburu-buru datang dan pergi, lagi pula sudah bayar tiket mahal-mahal, sayanglah kalau sebentaran (tetep dasar ya saya, otak ekonomis :P).. Hehehe Alhamdulillah, akhirnya Mamas mengalah, mengikuti keinginan saya untuk terus berkeliling, dan menonton tarian kecak. Udah deh konflik di nyatakan selesai. Alhamdulillah hore… Keluar GWK matahari sudah terbenam. Geng Rahmanika memutuskan pulang ke hotel tidak melanjutkan ke destinasi berikutnya. Sebelum sampai di hotel, mampir dahulu ke sebuah pasar malam di Jl. Nakula, membeli martabak telor dan roti bakar. Tapi menu martabak telornya tidak ada yang isi daging sapi, isinya ayam. Ada kejadian menarik di kedai roti bakar, ada seorang bule yang membawa uang dua lembar dua ribuan dan satu lembar seribuan total 5 ribu, ingin memesan roti bakar, padahal menu termurah di kedai roti bakar tersebut adalah IDR 7.000,- Sang bule menawar IDR 5.000,- sang pemilik kedai senyum-senyum dan bergumam, bule kok nawar. Tapi dasarnya orang Indonesia mah baik ya, di iya kan lah. Sang Bule senang sekali, terbukti senyumnya sumringah sambil tetap memegang 3 lembar uang tersebut di tangannya . Sesampainya di hotel, kami mendapati ternyata mini market di hotel menyediakan peta wisata Bali. Kemarin, kami Jauh-jauh mencari ternyata ada di sini. Malamnya kami menyusun kembali rencana buat keesokan harinya..

 Hari 3. Senin, 22 Septmber 2014



Pagi harinya, di hotel bukannya Geng Rahmanika berangkat pagi-pagi sesuai rencana, saya malah kepincut menonton film di saluran HBO, maklum, filmnya tentang persahabatan. Persahabatan 2 anak kecil (iyalah kalau besar berarti bukan anak lagi). Berlatar belakang tanah Afghanistan. Tentang Amir dan sahabatnya Hasan, sahabat yang begitu baik dan setia. Walaupun setelah di tonton secara keseluruhan, film ini bagi saya kurang bagus. Akan tetapi ada dialog yang bagi saya sangat menyentuh diantara 2 anak bersahabat tersebut. Hassan (H) : “Aku akan memakan tanah ini kalau kamu menyuruh begitu”. Amir (A) : “Sungguh kamu akan melakukan itu jika aku minta?”. H : “Ya. Aku akan melakukan itu jika kamu minta. Tetapi apakah kamu akan memintaku untuk memakan tanah ?”. A : “Tentu saja tidak”. H : “Iya aku tahu kok”. Saya mengambil pelajaran dari dialog ini, tentang kepercayaan di antara sahabat. Bahwa, seorang sahabat takkan mungkin mencelakakan sahabatnya dan akan bersungguh-sungguh memberikan yang terbaik. Seorang sahabat takkan mengambil keuntungan pribadi dari sahabatnya. Saya ini gampang terharu deh dengan tema-tema persahabatan. Maklum, karena N.Aff (Need of Affiliation, sebuah kebutuhan untuk terhubung dengan orang lain) saya lebih tinggi dari pada N.Pow (Need of Power, kebutuhan untuk berkuasa) atau N.Ach (Need of Achievement, kebutuhan untuk berprestasi). Alhasil hari sudah siang. Akhirnya ganti rencana. Hari itu jadwalnya adalah ke rumah teman SMU kami (anggota Geng Rahmanika memang satu almamater SMU dan satu angkatan, SMUN 13 Tg.Priok angkatan 98) yang bertempat tinggal di Denpasar, ke pusat oleh-oleh Bali Krisna, untuk membeli oleh-oleh bagi para sahabat di Cibitung, serta ke Tanah Lot untuk melihat sunset yang kabarnya bagus sekali. Hanya 3 destinasi saja. Saya bertekad belajar untuk menepati jadwal, kali ini tidak akan impulsif. Keluar hotel cari makan dahulu, berhentilah di kedai Mie Ayam Bakso. Begitu masuk kedai, terdengar suara orang mengaji, hati langsung nyess… adem.. ternyata itu adalah suara murottal. Selepas makan, mencari rumah teman, di tengah perjalanan sang teman mengatakan, ia sedang tak ada di rumah, sedang mengajar, baru akan akan pulang di sore hari. Mendengar hal tsb, saya mengusulkan untuk skip saja agenda pertama, kerumah temannya nanti malam saja. Tapi Mamas bersikukuh untuk tetap melanjutkan perjalanan ke rumah teman walau ia sedang tidak ada. Saya nurut saja. Ternyata relatif cukup mudah menemukan alamat yang di cari. Disana kami bertemu suami sang teman, Mas Budi namanya, serta Ibunya. Setelah berbicara sebentar kami undur pamit dengan berjanji malam nanti akan kembali lagi. Lanjut ke tujuan kedua, pusat oleh-oleh Bali, di sini Geng Rahmanika bertekad, akan belanja seirit-iritnya dengan hasil yang sebanyak-banyaknya. Halah… ternyata tekadnya jebol, membeli beraneka macam panganan. Bahkan saya yang penyuka kopi, membeli beberapa jenis kopi, membeli mainan anak-anak berupa seruling dan garukan punggung dan beberapa tas jinjing bertuliskan Bali serta sandal. Mamas hanya membeli kaos. Ternyata kami menghabiskan waktu yang lama untuk memilih-milih barang. Hhmm.. sempat terkejar sunset gak ya di Tanah Lot?. Setelah melalui rute jalan yang ditunjukan waze, kami sampai. Tiket masuk Tanah Lot IDR 10.000,- untuk WNI. Begitu masuk, sudah ramai pengunjung yang ingin melihat sunset, tak lupa berbekal kamera, HP dan tongsis. Ada juga pasangan dari Cina berpakaian baju pengantin, entahlah, sepertinya mereka sedang poto prewed2an. Lagi-lagi pengunjung dominasi WNA. Hmmm…deburan ombak, pemandangan laut yang luas dan matahari yang siap tenggelam… MasyaAllah luar biasa indahnya. Para pengunjung terlihat sangat mengagumi pemandangan alam ini, akan tetapi apakah mereka juga mengagumi Pencipta pemandangan alam ini? Wallahu alam… Di lokasi ini Mamas kerap kali memanggil saya untuk dijadikan objek photonya, padahal saya sama sekali tidak photogenic. Matahari tenggelam sudah, para pengunjung tepuk tangan, seperti selesai menonton sebuah pertunjukan orchestra. Karena lapar kami mencari tempat makan (sepertinya Geng Rahmanika lapar terus ya..) ada penjual jagung bakar, kami tertarik untuk membeli, teringat kebiasaan malam mingguan Geng Rahmanika ketika di Cibitung, yaitu membeli jagung bakar dan kembang gula. Di sini jagung bakar IDR 10.000,- satu buahnya. Di dekat parkiran ada warung padang Muslim, kami masuk dan memesan makanan. Ketika sedang makan, kami mendengar orang yang telah selesai makan di meja seberang “ditembak” dengan harga selangit. Sambil menyuap kami bergumam, siap-siap saja di tembak juga. Dan ternyata benar . Sepulang dari Tanah Lot, kami kembali kerumah rekan satu SMU, harus ekstra siaga dan hati-hati memberikan Mamas navigasi di malam hari. Karena penglihatanya tidak begitu bagus di malam hari, ditambah lagi ternyata arus lalu lintas lumawan crowded, walau jelas tidak separah di Jakarta. Sampailah di rumah rekan satu SMU kami, yang sebenarnya lebih mengenal Mamas dari pada saya. Karena rekan SMU ini satu ekskul dengan Mamas yaitu Pragalas, atau pramuka tiga belas. Sedangkan, ketika SMU dahulu saya mengikuti ekskul Rohis, (makanya saya sangat berang ketika Metro TV menurunkan berita tentang Rohis yang menjadi cikal bakal teroris. Berkebalikan dengan yang saya rasakan, justru Rohis sangat berkontribusi terhadap pembentukan kepribadian saya ketika di SMU dahulu, ditengah-tengah pengaruh lingkungan tempat tinggal saya di Tj. Priok, di mana pada saat dahulu saja, obat-obatan terlarang dan sex bebas sudah marak). Kami berempat, Mamas, saya, rekan kami Tiefanny Bungky yang biasa di panggil Fanny, Bungki, TiBung, Caca (nama panggilannya banyak banget) dan Sang suami, Mas Budi, berbincang-bincang seputar Bali, tentang kebudayaannya, warganya, kehidupan mereka sebagai keluarga muslim, tak ketinggalan membahas kehidupan remaja Bali, karena Fanny, Bungky, TiBung atau Caca ini berlatar belakang sama dengan saya, yaitu psikologi dan bekerja sebagai konselor di sekolah Islam di daerah Renon, Denpasar. Dari obrolan ini kami mengetahui, memang sulit menemukan masjid, atau musholla di Sini, dan Adzanpun tidak diperkenankan keras-keras. Ternyata mereka saja yang asli tinggal di sini, bukan melancong seperti kami, mengetahui waktu sholat dari jam, karena jarang sekali mendengar adzan, pergaulan remajanya yang cukup mengkhawatirkan, dll. Tak terasa sudah larut malam, kami pamit undur diri. Caca dan Mas Budi menanyakan jadwal pulang esok hari dan jam berapa naik pesawat. Mereka berjanji untuk menjemput di hotel, mengajak sholat di masjid dan makan malam serta mengantar ke Bandara. Saya sangat senang, berarti selama di Bali, akhirnya saya akan sholat di sebuah masjid juga.



Hari ke-4. Selasa, 23 September 2014

Ini hari terakhir Geng Rahmanika melancong, nanti malam jadwal pesawat kami jam 22.30. kami memang sengaja memilih jadwal malam, rencananya hari terkhir, setelah check out akan kami gunakan untuk mengunjungi daerah objek wisata yang jaraknya relatif jauh, seperti Danau Beratan, Pantai Lovina dengan menggunakan mobil sewaan, kemudian langsung ke Bandara. Tapi lagi-lagi ganti rencana. Akhirnya kami tidak jadi menyewa mobil. Kami memperpanjang menyewa kamar dan motor, sampai sore hari nanti. Hari ini kami akan kembali menyusuri pantai yang belum kami datangi di hari sebelumnya. Pertama ke Pantai Sanur, di pantai ini tidak banyak yang berjemur seperti di Legian atau Kuta. Kami memesan kelapa muda, ternyata harganya relatif jauh lebih murah daripada di Pantai Kuta, IDR 15.000,-Di Pantai ini menyediakan kapal-kapal penyebrangan ke Nusa Penida, atau bahkan sampai ke Lombok. Di sini kami sebentaran saja, karena kami akan melanjutkan ke Tanjung Benoa. Perjalanan dari Sanur ke Tanjung Benoa, kami sangat excited, karena jalurnya melewati Tol Laut. Tadinya kami fikir maze menyasarkan kami, masa iya kami menggunakan motor kok di arahkan naik tol. Ternyata memang iya sepeda motor di perkenankan naik tol dengat tiket IDR 4.000,-, Saya tak melewati kesempatan mengabadikan moment ini menggunakan kamera, jeprat-jepret, sambil membayangkan, “seru” ya jika di Jakarta ada juga tol untuk kendaraan motor . Keluar dari tol kami dipepet oleh seorang pengendara motor, menanyakan tujuan kami, ia menawarkan paket watersport di Tanjung Benoa. Harga diskon katanya. Setelah sampai, suasana begitu ramai, kami tak melihat ada yang berjemur di sini, yang ada kapal, jetski, banana, dll perlengkapan aneka kegiatan watersport. Ternyata Tanjung Benoa ini memang spesialisasi untuk kegiatan watersport. Kami ditawarkan berbagai paket dengan harga yang waww, jauh berbeda lebih mahal dengan harga yang rekan saya infokan. Mereka begitu gencar menawarkan, Mamas sih terserah saja, mempersilakan jika saya mau mencoba, akan tetapi akhirnya saya memutuskan tidak mau, kami tidak membawa baju salin, lagipula waktu kami terbatas, dan saya masih menyisakan destinasi untuk di kunjungi. Akhirnya kami keluar dari lokasi, tujuan kami berikutnya Pantai Jimbaran, kami mau makan siang seafood, sampai di sana, ternyata memang belum buka. Lanjut ke Universitas Udayana, ke Prodi Psikologi. Makan siang di sekitaran kampus, menemukan tempat makan dengan tagline “Selera Boss… Harga anak kost”. Ternyata benar enak-enak makanannya dengan harga yang relatif murah. Selanjutnya kami memutuskan untuk pulang ke hotel, tidak kemana-mana lagi, karena mau bersiap check-out. Sore harinya, sesuai janji, kami dijemput oleh Fanny dan Mas Budi serta ketiga putra-putri mereka yang lucu-lucu. Si sulung Nuha, berkostum ala muslimah China, pas dengan kulitnya yang putih dan matanya yang sipit, akan tetapi mungkin karena kelelahan, ia tertidur di mobil, yang nomer 2, Ayyash, lelaki kecil yang pemalu, kemudian si bungsu Syakira yang menempel terus dengan Ibun (panggilan kesayangan untuk sang Ibu), walau sesekali mencuri-curi pandang. Rencananya kami akan sholat di Masjid pusat kota, dan kemudian makan malam. Saya senang sekali, akan merasakan sholat di Masjid dan akhirnya jadi juga makan seafood di Jimbaran, setelah tadi siang gagal. Pas mendekati Masjid yang dimaksud, ternyata waktu sholat maghrib masih lama. Buka google maps, cari masjid di dekat Pantai Jimbaran, ternyata ada, akhirnya memutuskan, lanjut saja, sholat di masjid dekat sana saja. Ternyata, eh ternyata, masjidnya tidak ada, pakai aplikasi waze, menyatakan jika masjidnya ada persis di posisi kami, tapi kami memang sudah tengok tak ada masjid, bertanya-tanya pada penduduk sekitar juga menyatakan tidak ada masjid di sini, akan tetapi google maps dan waze menyatakan ada masjid di posisi kami. Hhmm.. waktu menunjukan sudah maghrib, akhirnya kami memutuskan mencari masjid lain, cari lagi pilihannya, masjid di daerah Uluwatu, atau Angkasa Pura, balik arah lagi. Hhmm… cobaan cari tempat untuk sholat. Di perjalanan, Fanny mengatakan sepertinya ada muridnya yang tinggal di daerah sini, ia coba mengingat dan mengenali jalan, dan ternyata benar, disebelah kiri jalan, ada sebuah restoran Jepang yang menyediakan musholla milik keluarga muridnya. Senangnya hati kami, menemukan tempat untuk sholat, kami segera turun dari mobil, setelah Fanny meminta izin, kami menunaikan sholat berjama’ah. Lega rasanya… walau ternyata, harapan saya untuk bisa sholat di Masjid tidak tertunaikan. Taklama, kami pamit dan melanjutkan perjalanan, puter balik lagi ke arah jimbaran, baru beberapa meter mobil berjalan, Fanny memekik “Itu dia masjidnya yang kita cari tadi”. Kami semua terheran-heran, masjidnya ada disini? Hanya berapa meter dari restoran Jepang tersebut, bukan di tempat yang di tunjukan oleh goggle maps atau waze. Sesampainya di Pantai Jimbaran, giliran saya dan Mamas yang heran, ini bukan tempat yang tadi siang di tunjukan oleh waze, hehehe. Ya sudahlah. Fanny memesan aneka seafood di kedai langganan keluarga meraka, setelah itu kami mencari tempat duduk. Hmmm… nuansa yang begitu romantis, bangku-bangku dan meja berjejer di atas pasir pantai, diterangi dengan lilin-lilin. Suara ombak yang bergemuruh namun lirih. Suasananya tidak begitu ramai malam itu. Di sini ternyata anak-anak mulai aktif, dengan bahagianya berlarian di atas pasir, kemudian duduk ngedeprok, memainkan pasir, sepertinya mereka bahagia sekali bertemu pasir, tak membutuhkan waktu lama, pakaian dan tubuh mereka terpapar oleh pasir. Sebelum hidangan utama di sajikan, kami di beri sup dan kacang. Taklama hidangan utama datang, ikan bakar, cumi, udang. Rasanya? Hhmmm.. tak diragukan, lezat, daging ikannya terasa manis. Menurut Mas Budi, seafood ini adalah hasil tangkapan laut nelayan sekitar, jadi masih fresh dari laut. Kami menyantap sambil sesekali mengobrol, sedangkan Fanny, mendahulukan menyuapi si bungsu dan memastikan kakak-kakak si bungsu juga makan, setelah kami selesai, barulah Fanny bisa makan. Tidak membutuhkan waktu lama untuk menandaskan makanan. Saya tidak tahu harga makanan di sini, karena Mas Budi langsung membayar ke kasir. Kami jadi (tidak) enak, sudah di jemput dari hotel, di beri aneka snack khas Bali, dibayarin makan pula, dan diantar ke bandara. Semoga Allah membalas dengan balasan yang lebih baik. Di mobil menuju Bandara Ngurah Rai anak-anak mulai banyak berinteraksi, sehingga pas sampai Bandara Si sulung Nuha dan adiknya, Ayyash, berkata “Nanti kita main lagi ya”. Setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih, saya dan Mamas memasuki Bandara, sambil menunggu boarding, kami duduk di ruang tunggu. Saya melihat ada 3 orang laki-laki berjalan ke arah deretan bangku kami, 2 diantaranya duduk, satunya lagi ke toilet. Nah salah satu yang duduk tersebut, saya mengenalinya yaitu Ustadz Sunmandjaya Rukmandis, anggota DPR RI dari PKS, saya mengangguk dan tersenyum kepada beliau, beliau balas mengangguk. Taklama muncul laki-laki yang dari toilet, sepertinya beliau habis berwudhu, beliau mengucapkan salam pada kami, kami menjawabnya. Belakangan, dari status fb ustadz Sunmandjaya, saya mengetahui, bahwa beliau adalah Ustadz Buchori Yusuf, mereka baru saja tiba di Bali sore hari untuk sebuah urusan dan sudah pulang kembali malam harinya. Sebenarnya, saya ingin menyambangi tempat duduk mereka, bertegur sapa, dan sempat terfikir untuk meberikan sebagian oleh-oleh, tetapi saya sungkan. Akhirnya, saya meminta Mamas untuk melakukan hal tersebut, tetapi mamaspun sepertinya sungkan. Akhirnya kami duduk saja, dan taklama diumumkan bahwa kami harus boarding, kamipun meninggalkan ruang tunggu dan memasuki pesawat, ternyata kami tidak sepenerbangan dengan beliau bertiga. Menjelang dini hari, sampailah kami di Cibitung kembali. Hhhmmm… semoga perjalanan ini memiliki dampak positif untuk Geng Rahmanika. Seperti do’a seorang sahabat, yang sekaligus seringkali saya anggap sebagai Ibu, beliau menyampaikan via chat whatsapp : “Itulah keindahan dunia.. Semoga Ika bisa membandingkannya di akhirat kelak (surga)… Semoga menambah ketakwaan kalian berdua yaa...”. Aamiin Ya Rabbal Alamin. InsyaAllah next destination Kota Suci Mekkah... bisa gak ya “ngebolang” ke Mekkah? 


 Note : kemanapun destinasi kita… memang paling berkesan jika bersama dengan orang tercinta…